Band rock asal Bali, Superman Is Dead (SID) merasa gerah dengan
ketimpangan pembangunan yang kian terjadi di Pulau Dewata hingga saat
ini. “Dari kacamata luar seolah Bali itu sumber keindahan dan tak ada
penderitaan, padahal banyak ketimpangan di dalamnya yang bikin
prihatin,” kata drummer SID, Jerinx, kepada Tempo di sela mengisi acara
Voice from the east (Vo
te) di Yogyakarta Sabtu malam, 14 April 2012.
Jerinx mengatakan dengan kemajuan yang telah dicapai sejauh ini, banyak masyarakat lokal Bali yang belum sepenuhnya menikmati kue pembangunan. Malah, kebanyakan masyarakat itu tergusur akibat pembangunan yang dinilai hanya mementingkan kelompok-kelompok tertentu.
“Bali masih seperti sapi perah, nggak hanya karena monopoli dari sentral Jakarta, tapi juga pemodal asing, bahkan mantan koruptor juga bangun hotel di sana. Ya pemiliknya ternyata cuma orang-orang itu saja, masyarakatnya nggak kebagian,” kata Jerinx.
SID belakangan, diakui Jerinx, semakin intens mengikuti isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, bahkan tak segan ikut turun ke jalan. Satu isu yang dikawal ketat SID yakni rencana pembangunan Bali International Park (BIP) di kawasan Bali selatan yang akan digunakan untuk penyelenggaraan KTT APEC XXI November 2013.
SID sempat turun ke jalan bersama demonstran menolak pembangunan yang dinilai akan semakin membuat Bali selatan kian semrawut dan didominasi bangunan-bangunan modern.
“Sekarang banyak masyarakat lokal ingin mencoba kembali menerapkan nilai filosofi tradisi. Sudah disadari, nilai-nilai itu bisa makin hilang kalau semakin digempur pembangunan modern tanpa henti,” kata dia.
Nilai tradisi yang coba dikembalikan itu misalnya mendirikan bangunan yang tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa. Juga pengembalian konsep penataan desa adat tidak berdasarkan RT/RW.
“Kami tidak mau ada pura-pura yang tergusur lagi. Kami juga ingin tidak gampang diiming-imingi pekerjaan jika ada suatu pembangunan yang bakal merusak cagar budaya,” kata dia.
Jerinx mengatakan dengan kemajuan yang telah dicapai sejauh ini, banyak masyarakat lokal Bali yang belum sepenuhnya menikmati kue pembangunan. Malah, kebanyakan masyarakat itu tergusur akibat pembangunan yang dinilai hanya mementingkan kelompok-kelompok tertentu.
“Bali masih seperti sapi perah, nggak hanya karena monopoli dari sentral Jakarta, tapi juga pemodal asing, bahkan mantan koruptor juga bangun hotel di sana. Ya pemiliknya ternyata cuma orang-orang itu saja, masyarakatnya nggak kebagian,” kata Jerinx.
SID belakangan, diakui Jerinx, semakin intens mengikuti isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, bahkan tak segan ikut turun ke jalan. Satu isu yang dikawal ketat SID yakni rencana pembangunan Bali International Park (BIP) di kawasan Bali selatan yang akan digunakan untuk penyelenggaraan KTT APEC XXI November 2013.
SID sempat turun ke jalan bersama demonstran menolak pembangunan yang dinilai akan semakin membuat Bali selatan kian semrawut dan didominasi bangunan-bangunan modern.
“Sekarang banyak masyarakat lokal ingin mencoba kembali menerapkan nilai filosofi tradisi. Sudah disadari, nilai-nilai itu bisa makin hilang kalau semakin digempur pembangunan modern tanpa henti,” kata dia.
Nilai tradisi yang coba dikembalikan itu misalnya mendirikan bangunan yang tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa. Juga pengembalian konsep penataan desa adat tidak berdasarkan RT/RW.
“Kami tidak mau ada pura-pura yang tergusur lagi. Kami juga ingin tidak gampang diiming-imingi pekerjaan jika ada suatu pembangunan yang bakal merusak cagar budaya,” kata dia.
0 komentar:
Posting Komentar